Liputan6.com, Jakarta - Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) terhadap pejabat Basarnas menuai polemik. Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyayangkan tindakan OTT KPK terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi tak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan TNI.
Sebab, Agung menilai, kasus yang disidik KPK turut menyangkut dua prajurit TNI apalagi OTT tersebut terjadi di dekat Markas Besar TNI. Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono juga menyayangkan sikap KPK yang tak berkoordinasi dengan TNI terlebih dahulu sebelum melakukan OTT.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pun meminta maaf kepada pihak TNI lantaran menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
Advertisement
Johanis meminta maaf karena pihaknya tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI sebelum mengumumkan keterlibatan Henri Alfandi. Permintaan maaf disampaikan usai Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko mendatangi markas antirasuah.
Sejumlah pihak pun angkat bicara usai polemik KPK vs TNI tersebut. Salah satunya Ketua Indonesia Memanggil 57 (IM57+) Institute Praswad Nugraha menilai penetapan tersangka sepenuhnya adalah kewenangan pimpinan KPK, bukan penyelidik atau penyidik KPK.
Dia menyebut pimpinan KPK seolah-olah cuci tangan atas polemik penetapan tersangka Kepala Basarnas sebagai tersangka suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
"Pimpinan KPK seharusnya bertangungjawab tidak boleh cuci tangan seolah-olah ini adalah pekerjaan tim penyelidik semata," kata Praswad dikutip dari siaran persnya, Sabtu (29/7/2023).
Praswad menjelaskan bahwa dalam Pasal 39 ayat 2 UU KPK, ditekankan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh tim KPK adalah atas perintah pimpinan KPK. Praswad menuturkan penyelidik KPK bertindak atas perintah dan pimpinan KPK.
Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud Md meminta para pihak untuk menyudahi kisruh perdebatan antara KPK dengan TNI.
"Meskipun harus disesalkan, problem yang sudah terjadi itu tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang. Yang penting kelanjutannya yakni agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya yakni korupsi," ujar Mahfud Md.
Berikut sederet respons berbagai pihak terkait polemik antara KPK dengan TNI usai OTT dan penetapan tersangka pejabat Basarnas dihimpun Liputan6.com:
Â
1. YLBHI Sebut KPK Dianggap Keliru karena Minta Maaf ke TNI
Kesuksesan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik dugaan korupsi di lingkungan Basarnas mendapat apresiasi dengan menetapkan dua anggota TNI Eks Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi sebagai tersangka.
Namun, keputusan KPK meminta maaf atas penetapan tersangka kedua prajurit TNI itu sontak mendapat kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil. Selain itu, menyerahkan proses hukum keduanya kepada Puspom TNI dengan alasan selaku militer aktif berada di bawah peradilan militer.
"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7/2023).
Sebab, kata Isnur, KPK seharusnya tidak perlu meminta maaf. Karena KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum).
"Sebagaimana kita ketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan. Seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana," ujar Isnur.
Maka dari itu, seharusnya KPK menyadari pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri berbunyi "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang."
Sehingga ditetapkannya dua tersangka Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas bersama tiga masyarakat sipil adalah keputusan yang benar. Karena dalam kasus suap yang harus mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap.
"Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap," tuturnya.
"Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI, karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer," tambah Isnur.
Koalisi pun mendesak KPK agar kembali memegang kasus korupsi suap di lingkungan Basarnas. Agar menjadi pintu masuk untuk mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI.
"KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai undang-undang peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas," tegasnya.
Dengan terkuaknya skandal korupsi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif telah menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer.
"Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan kerugian keuangan negara," jelas dia.
Â
Advertisement
2. Ketua Indonesia Memanggil 57 Sebut Semua Keputusan Berdasarkan Pimpinan KPK
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk bertanggung jawab atas penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi yang merupakan seorang prajurit militer.
Ketua Indonesia Memanggil 57 (IM57+) Institute, Praswad Nugraha, menyampaikan bahwa penetapan tersangka sepenuhnya adalah kewenangan pimpinan KPK, bukan penyelidik atau penyidik KPK.
Dia menyebut pimpinan KPK seolah-olah cuci tangan atas polemik penetapan tersangka Kepala Basarnas sebagai tersangka suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
"Pimpinan KPK seharusnya bertangungjawab tidak boleh cuci tangan seolah-olah ini adalah pekerjaan tim penyelidik semata," kata Praswad dikutip dari siaran persnya, Sabtu (29/7/2023).
Praswad menjelaskan bahwa dalam Pasal 39 ayat 2 UU KPK, ditekankan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh tim KPK adalah atas perintah pimpinan KPK. Praswad menuturkan penyelidik KPK bertindak atas perintah dan pimpinan KPK.
"Jangan sampai ketika ada persoalan kesalahan dilimpahkan kepada para pegawai dan pimpinan hanya mau ketika ada prestasi," ujar Praswad.
Untuk itu, Praswad menegaskan bahwa pimpinan KPK harus bertanggungjawab secara etik maupun proses pidana yang dilakukan. Pasalnya, penetapan tersangka Kepala Basarnas Henri Alfiandi menuai polemik hingga memunculkan isu pengunduran diri Plt. Deputi Penindakan KPK dan Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu.
"Pimpinan KPK merupakan pihak yang bertanggungjawab dan mengendalikan seluruh perkara yang ada di KPK. Kesalahan atau ketidakcermatan pimpinan KPK tidak boleh terjadi di dalam proses pro yustisia (penanganan perkara), karena berpotensi masuk di dalam penyalahgunaan kewenangan," jelas Praswad.
Dia pun mengapresiasi pengunduran diri Plt. Deputi Penindakan KPK dan Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, usai pimpinan KPK meminta maaf kepada TNI karena menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka. Praswad menilai pimpinan KPK seharusnya malu dengan hal tersebut.
"Tindakan Direktur Penyidikan sekaligus Plt. Deputi Penindakan yang mengundurkan diri karena pimpinan menyalahkan penyelidik sebagai tindakan yang sangat terhormat. Pimpinan seharusnya malu atas tindakan yang dilakukan dengan terkesan lepas tangan," kata Praswad.
Â
3. Pakar Hukum Nilai KPK Berwenang Proses Korupsi di Instansi Manapun, Termasuk Militer
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menekankan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer. Dia menyampaikan hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2022 tentang KPK.
Hal ini disampaikan Fickar menanggapi polemik penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
"UU KPK Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, KPK itu berwenang memproses korupsi di instansi manapun, termasuk militer," jelas Fickar kepada Liputan6.com, Sabtu (29/7/2023).
Dia mengatakan saat melakukan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan prajurit militer aktif, KPK memang harus menggunakan penyidik militer. Namun, penanganan kasus korupsi tetap menjadi kewenangan KPK bersama oditur militer atau pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dalam lingkungan peradilan militer.
"Ketika menyidik harus menggunakan penyidik militer (karena tersangkanya militer aktif) tetapi penanganan korupsinya tetap menjadi kewenangan KPK dengan bersama sama oditur militer," katanya.
Fickar pun mengkritik pimpinan KPK yang mengaku khilaf karena menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka. Dia menekankan bahwa KPK tak perlu meminta maaf kepada TNI atas hal tersebut.
"Enggak perlu minta maaf karena semua korupsi itu menjadi kewenangan KPK," ujar Fickar.
Â
Advertisement
4. Novel Baswedan Sindir Pimpinan KPK yang Salahkan Tim Penyelidik
Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menyindir sikap pimpinan KPK yang menyalahkan tim penyelidik di tengah polemik pengungkapan kasus suap di Badan SAR Nasional (Basarnas).
Dalam kasus itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto dan menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka.
"Pimp KPK tdk tggjwb... Setiap kasus melalui proses yg detail bersama Pimp KPK & pejabat struktural KPK. Kok bisa2nya menyalahkan penyelidik/penyidik yg bekerja atas perintah Pimp KPK," tulis Novel dalam akun Twitternya @nazaqistsha dikutip pada Sabtu (29/7/2023).
Â
5. Alexander Marwata Tegaskan Tak Salahkan Tim KPK Soal Penetapan Kepala Basarnas Jadi Tersangka
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan tim penyelidik, penyidik, hingga jaksa KPK telah bekerja sesuai dengan tugasnya terkait penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.
"Saya tidak menyalahkan penyelidik atau penyidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya," ujar Alexander Marwata kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Dia lantas mengulas proses penetapan tersangka dalam kasus tersebut bahwa dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP dijelaskan pengertian tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
"Dalam kegiatan tangkap tangan KPK sudah mendapatkan setidaknya dua alat bukti yaitu keterangan para pihak yang tertangkap dan barang bukti berupa uang, serta bukti elektronis berupa rekaman penyadapan atau percakapan. Artinya dari sisi kecukupan alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," ucap Alex.
"Dalam gelar perkara yang dihadiri lengkap oleh penyelidik, penyidik penuntut umum, pimpinan, dan juga diikuti oleh penyidik dari Puspom TNI tidak ada yang menolak atau keberatan untuk menetapkan lima orang sebagai tersangka," sambung dia.
Menurut Alex, dalam kesempatan itu seluruh pihak yang hadir dan berkepentingan telah diberikan kesempatan berbicara untuk menyampaikan pendapatnya. Selain itu, ekspos perkara juga disimpulkan terhadap oknum TNI penanganannya diserahkan ke Puspom TNI.
"Oleh karena itu KPK tidak menerbitkan sprindik atas nama anggota TNI yang diduga sebagai pelaku. Secara substansi atau materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka," kata Alex.
Menurut Alex, secara administratif, TNI yang akan menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka, setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK.
"Jika dianggap sebagai kekhilafan itu kekhilafan pimpinan," Alex menandaskan.
Â
Advertisement
6. Mahfud Md Minta Hentikan Perdebatan KPK vs TNI
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud Md meminta para pihak untuk menyudahi kisruh perdebatan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan TNI.
Kisruh tersebut terkait prosedur penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi.
"Meskipun harus disesalkan, problem yang sudah terjadi itu tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang. Yang penting kelanjutannya yakni agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya yakni korupsi," ujar Mahfud Md dalam keteranganya, Sabtu (29/7/2023).
Sebab, Mahfud menilai KPK telah mengakui kekhilafannya akibat m melampaui kewenangan. Sementara, kata dia, TNI telah mendapatkan masalah pokok kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas TA 2021-2023.
"KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural. Sedangkan di lain pihak TNI juga sudah menerima substansi masalahnya, yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi peradilan militer," kata Mahfud.
Sehingga, lanjut dia, substansi korupsinya yang telah diinformasikan dan dikoordinasikan kepada TNI oleh KPK, kemudian akan menjerat dua anggota TNI untuk dituntaskan melalui Pengadilan Militer.
"Perdebatan tentang ini di ruang publik jangan sampai menyebabkan substansi perkaranya kabur sehingga tak berujung ke Pengadilan Militer," beber Mahfud.
Walau pun, Mahfud menyadari kritik terhadap sistem peradilan militer, kerap sulit membawa oknum militer ke peradilan. Namun untuk kasus ini dia yakin pelaku akan diganjar dengan sanksi hukum yang tegas.
"Meskipun terkadang ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan. tetapi biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas," jelas Mahfud.
Â
7. DPR Minta Kasus Basarnas Jangan seperti Korupsi Heli AW-10, Perwira TNI Terlibat Tidak Dipidana
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan TNI atas penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi diakhiri.
Arsul mengatakan kasus ini harus terus diproses dan diungkap sesuai dengan prosedur. Menurut Arsul, KPK dan TNI bisa membentuk tim bersama untuk melakukan mengungkap kasus suap yang melibatkan perwira TNI aktif itu.
"Kami minta itu diakhiri dan selanjutnya baik KPK maupun POM TNI fokus pada proses hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku, yakni dengan membentuk tim koneksitas untuk melakukan proses hukum terhadap perwira TNI aktif tersebut," ujar Arsul kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Melalui tim koneksitas ini, KPK terus memproses tersangka sipil. Sementara POM TNI memproses tersangka perwira aktif.
"Saatnya KPK dan TNI menunjukkan kepada rakyat bahwa ada paralelitas dan sinkronisitas dalam proses hukum terhadap tersangka warga sipil dan perwira TNI aktif yang diduga terlibat dalam tipikor tersebut," ujar Arsul.
Gesekan antara KPK dan TNI dalam kasus suap ini harus dihentikan. Publik ingin melihat proses hukum yang prosedural dan akuntabel. Arsul mendorong kasus suap di tubuh Basarnas ini diselesaikan secara transparan.
Wakil Ketua Umum PPP ini mengingatkan jangan sampai seperti kasus korupsi Heli AW 101. Hanya sipil saja yang diproses hukum, tetapi perwira TNI yang diduga terlibat tidak dipidana.
"Jangan sampai terjadi lagi seperti pada kasus tipikor Helikopter AW-101, di mana orang sipilnya diproses hukum dan dipidana penjara plus denda, namun tidak demikian dengan perwira TNI yang diduga terlibat," ujar Arsul.
Advertisement